Berbeda dengan Menkes, Guru Besar UGM Tak Rekomendasikan Ganja Dilegalkan

photo author
Frans C Mokalu
- Rabu, 6 Juli 2022 | 17:28 WIB
Seorang pekerja merawat tanaman ganja di pertanian Rak Jang, salah satu pertanian pertama yang diberi izin oleh pemerintah Thailand untuk menanam ganja dan menjual produknya ke fasilitas medis, di Nakhon Ratchasima. (sl/Ist/Antara/Reuters)
Seorang pekerja merawat tanaman ganja di pertanian Rak Jang, salah satu pertanian pertama yang diberi izin oleh pemerintah Thailand untuk menanam ganja dan menjual produknya ke fasilitas medis, di Nakhon Ratchasima. (sl/Ist/Antara/Reuters)

Meski demikian, proses legalisasi senyawa turunan ganja tersebut, menurut Prof Zullies harus mengikuti kaidah pengembangan obat dengan menggunakan data uji klinis terkait. Ia mengingatkan bahwa ganja medis tidak dapat menggunakan regulasi seperti obat herbal.

"Meski ini seperti obat herbal, sama-sama dari tanaman, tapi tidak bisa begitu, karena (tanamannya) mengandung senyawa yang memabukkan," kata Prof Zullies.

Baca Juga: 6 Alasan Orang Tidak Pernah Terinfeksi Covid-19 selama Pandemi, Salah Satunya karena Hasil Tes Palsu

Selain itu, lanjut Prof Zullies, perlu koordinasi dari semua pihak terkait untuk membuat regulasi pengembangan dan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Kesehatan, Badan Narkotika Nasional (BNN), hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus membahasnya.

"Kita memang harus terbuka bahwa kemungkinan ganja merupakan sumber dari suatu obat, tapi tentu harus dipertimbangkan semua risiko dan manfaatnya," jelasnya.

Dalam kesempatan terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr M Adib Khumaidi SpOT mengatakan, penggunaan ganja medis saat ini masih memerlukan pengkajian mendalam. Itu penting demi memastikan keamanan dan keselamatan pasien.

"Kita harus benar-benar mengkaji ini karena setiap apa pun yang diberikan kepada kita, apalagi yang sifatnya obat, pasti akan ada namanya efek samping dan itu tetap harus jadi perhatian kita," kata Adib usai pembukaan Konferensi Asosiasi Dokter Medis Sedunia di Jakarta, Senin (4/7/2022).

Adib menjelaskan, obat baru harus berbasis pada bukti klinis. Menurut dia, perlu dikaji apakah obat tersebut dapat dijadikan obat utama, obat pendukung yang diberikan bersamaan dengan obat lain, atau obat alternatif jika pengobatan sebelumnya tidak berhasil.

"Ini yang harus kita pahami karena dalam penatalaksanaan sebuah penyakit itu ada yang namanya standar emas, mana yang harus kita obati dan mana pengobatannya. Semuanya melewati proses berbasis bukti, jadi kita harus benar-benar mengevaluasi dalam bentuk riset, karena kepentingan kita saat ini adalah keselamatan pasien," jelas Adib.

Seorang ibu asal Yogyakarta, Santi Warastuti, menjadi pemohon uji materil UU Narkotika agar anaknya punya akses terhadap ganja medis. Santi menjelaskan anandanya yang merupakan penyandang cerebral palsy memerlukan ganja medis untuk pengobatan kejang epilepsi karena obat yang dipakai sebelumnya menimbulkan efek samping.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Frans C Mokalu

Sumber: republika.co.id

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

X