Kapan bencana alam itu menjadi musibah dan kapan ia merupakan anugerah? Jawabannya sangat tergantung seberapa jauh pelajaran dari bencana alam itu terserap dan berpengaruh positif pada diri seseorang, baik yang tertimpa bencana itu atau yang sekadar menyaksikannya. Dalam kesempatan kali ini, khatib memaparkan setidaknya tiga pelajaran penting dalam peristiwa bencana alam.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullâh, Pelajaran pertama adalah muhâsabah atau introspeksi diri. Kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri kita, apa saja kekurangan dan kesalahan yang perlu dibenahi. Bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan gunung meletus adalah fenomena yang tidak bisa dikendalikan manusia. Ini bukti kelemahan manusia, dan seyogianya bencana alam menyadarkan mereka untuk kian merendah serendahnya di hadapan Allah ﷻ. Bila bencana itu disadari akibat kesalahan manusia, maka seharusnya bencana alam berdampak pada perubahan sikap kita menjadi lebih baik.
Muhasabah ini penting dilakukan baik oleh mereka yang menjadi korban maupun bukan korban. Sayyidina Umar bin Khattab pernah berkutbah:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا فَإِنَّهُ أَهْوَنَ لِحِسَابِكُمْ
Artinya: “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab. Karena sesunguhnya hal itu akan meringankan hisabmu (di hari kiamat).”
Baca Juga: Inilah Makna dan Asal Usul Kata Khalifah dalam Al Quran Menurut Prof Quraish Shihab
Pesan dari pidato Sayyidina Umar sangat jelas bahwa kita dianjurkan untuk mengevaluasi diri sendiri, bukan mengevaluasi orang lain. Bagi korban, bencana adalah fase penting memeriksa dosa-dosa sendiri, tingkat penghambaan kepada Allah, pergaulan sosial, dan sikap terhadap lingkungan alam selama ini. Bagi mereka yang bukan korban dan di luar lokasi bencana, hal ini adalah peringatan bagi diri sendiri untuk kian menjaga perilaku dan sifatnya baik kepada Allah, sesama manusia, dan juga alam sekitar.
Sangat disesalkan bila ada orang yang kebetulan tak menjadi korban menuding bahwa bencana alam yang menimpa saudara-saudaranya di lokasi tertentu merupakan azab atas dosa-dosanya. Apalagi jika tuduhan itu dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu. Sikap yang demikian tak hanya bertentangan dengan prinsip muhâsabatun nafsi (evaluasi diri sendiri, bukan orang lain), tapi juga dapat mendorong mudarat baru karena bisa menyinggung perasaan para korban dan menunjukkan tidak adanya empati kepada korban. Terkait hal ini, Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkâr pernah membolehkan orang yang selamat dari bencana untuk mengucap syukur tapi sembari memberi catatan: harus dengan suara sangat pelan (sirr) agar tidak melukai perasaan mereka yang sedang mengalami penderitaan.
Pelajaran kedua adalah rasa syukur dan optimisme. Sikap ini berdasar pada hadits Rasulullah
ﷺ: عن عائِشَةَ قالتْ قالَ رسولُ الله ﷺ لا يُصِيبُ المُؤمِنَ شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا إلاّ رَفَعَهُ الله بِهَا دَرَجَةً وَحَطّ عَنْهُ بها خَطِيئَةً
Dari 'Aisyah, ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidaklah seorang mukmin terkena duri atau yang lebih menyakitkan darinya kecuali Allah mengangkatnya satu derajat dan menghapus darinya satu kesalahan." (HR. Tirmidzi).
Baca Juga: Hore! Guru Jadi Prioritas CPNS 2023, Ini Persyaratan yang Harus Disiapkan
Dalam konteks ini, bersyukur bagi para korban adalah ridha atas bencana yang menimpanya dan menilai penderitaan saat ini adalah cara Allah melebur dosa-dosanya dan menaikkan kualitas kepribadiannya. Sebagaimana ujian akhir semester bagi siswa sekolah untuk naik ke semester berikutnya, bencana merupakan ujian bagi para korban untuk bisa mendaki pada derajat yang lebih mulia.
Hadits tersebut merupakan cara Rasulullah memberikan optimisme kepada umatnya agar tidak larut secara terus-menerus dalam kesedihan, banyak mengeluh, apalagi sampai putus asa. Dalam penderitaan, kita mesti husnudh dhan (berprasangka baik) bahwa ada maksud khusus dari Allah untuk meningkatkan mutu diri kita, baik dalam ibadah (menghamba kepada Allah) maupun muamalah (hubungan sosial).
Bagi mereka yang tak terdampak bencana, syukur dalam konteks ini mengacu pada karunia keamanan dari Allah kepada dirinya, sehingga tidak hanya bisa muhâsabah atas peristiwa yang disaksikannya tapi juga bisa beribadah dalam situasi yang lebih nyaman dibanding saudara-saudaranya yang tertimpa musibah. Mereka juga harus belajar dari kesalahan-kesalahan dan optimis menatap perjalanan ke depan.
Artikel Terkait
Teks Khutbah Jumat Terkini Berjudul Belajar dari Bencana Alam Umat Terdahulu
Teks Khutbah Jumat Edisi Bulan Desember 2022 : Pentingnya Rasa Sabar saat Dilanda Musibah
Khutbah Jumat Suara Muhammadiyah Terbaru Tentang Peka dan Peduli
Teks Khutbah Jumat Edisi Desember 2022 : Pentingnya Muhasabah Diri di Tengah Musibah Bencana Alam
Naskah Khutbah Jumat Edisi Desember 2022 Tentang Erupsi Gunung Semeru, Bisa Didownload dalam Format PDF
Link Live Streaming Madura United vs PSIS Semarang: Kesempatan Laskar Sape Kerrab Puncaki BRI Liga 1
UMP 2023 di Pulau Kalimantan, Tertinggi Kaltara Terendah Kalbar
Link Live Streaming PSM vs Persikabo, Kesepatan Juju Eja Kuasai Liga 1
Daftar UMP 2023 6 Provinsi di Pulau Sulawesi, Siapa Tertinggi?
Link Live Streaming Jepang vs Kroasia, Kesempatan ke 4 Tim Samurai Tembus Perempat Final Piala Dunia
Info Loker Relawan Piala Dunia U20 2023, Dibuka 1.500 Lowongan Kerja
Resep Mochi Simpel dan Praktis, Hasilnya Kenyal dan Super Mulur
Link Live Streaming Persita vs Bali United di Liga 1
UMK Pematang Siantar 2023 Disepakati Naik 7,5 Persen Jadi Segini Besarannya
12 Link Twibbon Hari Anti Korupsi Sedunia 2022 untuk Foto Profil Media Sosial