AYOMEDAN.ID—Kementerian Kesehatan meminta seluruh layanan Kesehatan apotek dan toko obat untuk menghentikan peredaran obat dalam bentuk cair atau sirop. Kandungan dalam obat cair diduga menjadi penyebab maraknya penyakit gagal ginjal akut pada anak-anak.
Gagal ginjal akut menyerang anak-anak usia di bawah 6 tahun. Kasus gagal ginjal akut, menurut data dari Kemenkes sudah sebanyak 206 anak meninggal dunia di 20 provinsi di Indonesia.
Baca Juga: Download Naskah Khutbah Jumat Edisi Spesial Hari Santri Format DOC Word
Lalu, kenapa obat cari atau sirop itu perlu ada? Melansir dari republika.co.id. Wakil ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Prof Keri Lestari mengatakan obat sirop diperlukan keberadaannya. Obat sirop menjadi sediaan alternatif bagi anak, terutama yang berusia di bawah lima tahun.
"Namanya bayi atau anak di bawah usia lima tahun, sulit kita memaksakan untuk obat puyer, makanya ada alternatif obat sirop," katanya.
Selain itu, pasien lainyya yang merasa tidak nyaman ketika menkonsumsi obat dalam bentuk puyer atau tablet, akan terbantu dengan keeradaan obat dalam bentuk sirop.
Baca Juga: Viral, Pria di Medan Menikmati Hujan Sambil Naik Motor Teriak ‘Woi Pelangi woi…cantik kali woi….’
Prof Keri menjelaskan etilen glikol dan dietilen glikol yang diduga kuat menjadi penyebab gagal ginjal akut misterius sebetulnya tidak digunakan dalam formulasi obat. Hanya saja, senyawa itu bisa ada dalam bentuk kontaminan pada bahan tambahan sediaan sirop.
"Nilai toleransinya 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol, serta 0,25 persen pada polietilen glikol," kata Prof Keri ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Prof Keri mengaku menghargai aspek kehati-hatian dari Kemenkes terkait larangan penjualan obat dalam sediaan sirop. Pihaknya juga masih menunggu hasil penelusuran Badan Pengawas Obat dan Makanan mengenai merek-merek obat yang melebihi ambang batas kandungan.
Menurut Prof Keri, obat sirop masih memungkinkan untuk diresepkan kepada pasien tertentu. Hanya saja, itu hanya bisa dilakukan dalam pemantauan dokter dengan mempertimbangkan risiko dan manfaatnya.
"Setiap kita memilih obat, pasti mempertimbangkan tindakan itu, karena obat itu sifatnya racun sehingga diberikan dalam kondisi yang betul-betul memang bermanfaat," ujar apoteker dari Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat itu.
Baca Juga: Pria Berseragam Dinas Mencuri Coklat di Minimarket Terekam Kamera Pengawas