Hal ini memberikan pesan bahwa betapa penting dan berharganya menjaga takwallah. Sadar bahwa diri senantiasa dalam pantauan Allah di segala keadaan dan suasana. Karenanya, alfakir berpesan kepada diri sendiri dan jamaah yang berbahagia untuk terus menjaga dan memupuk takwallah tersebut.
Hadirin yang Berbahagia.
Kenikmatan hidup paling mahal adalah sehat, karena apa pun yang kita miliki di dunia tak akan bisa dinikmati jika sakit. Dalam susana yang serba tidak emnetu seperti sekarang, nikmat sehat menjadi hal yang mahal harganya. Karenanya, kita perlu mensyukuri nikmat sehat yang ada. Apalagi dalam sebuah ayat disebutkan sebagai berikut:
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللهِ لَا تُحْصُوها، إِنَّ الْإِنْسانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Artinya: "Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh manusia sangat zalim dan banyak mengingkari nikmat." (QS al-Nahl: 18).
Baca Juga: Memasuki Bulan Safar, Inilah 5 Doa Tolak Bala dapat Dibaca Agar Terhindar dari Musibah dan Kesialan
Nikmat sehat bukan suatu kemewahan seperti emas dan perak. Tetapi menjadi mahal ketika kesehatan telah berubah menjadi sakit. Nikmat sehat merupakan mahkota tubuh. Saat terbaring sakit, kita baru sadar bahwa kesehatan sangat berharga.
Yang mengabaikan kesehatan dirinya adalah orang yang menabung masalah untuk masa depan. Seorang filosof Inggris mengatakan: Jika dengan memperoleh pengetahuan malah merusak kesehatan kita, maka kita bekerja untuk hal yang tidak berguna.
Tidak berlebihan dan sangat tepat kalau dalam suatu hadits diriwayatkan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ، اَلصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Artinya: "Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia berkata: Nabi SAW bersabda: Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu (lalai) padanya, yaitu kesehatan dan waktu luang." (HR al-Bukhari).
Dalam Mukhtashar Minhâjul Qâshidîn intisari kitab Ihya` Ulûmiddîn diriwayatkan, ada orang mengadukan kemiskinannya dan menampakkan kesusahannya kepada seorang alim. Lalu si alim berkata: "Apakah engkau senang menjadi buta dengan mendapatkan 10 ribu dirham?"
“Tidak,” jawabnya.
“Apakah engkau senang menjadi bisu dengan mendapatkan 10 ribu dirham?” tanya ulang si alim.
“Tidak,” jawabnya.
“Apakah engkau senang menjadi orang yang tidak punya kedua tangan dan kedua kaki dengan mendapatkan 20 ribu dirham?,” lanjut si alim.
“Tidak,” jawabnya.
“Apakah engkau senang menjadi orang gila dengan mendapatkan 10 ribu dirham?” Si alim terus bertanya.
“Tidak,” jawabnya.
“Apakah engkau tidak malu mengadukan Tuanmu sedangkan Dia memiliki harta 50 ribu dinar padamu?,” pungkas si alim.
Dari kisah tersebut, kita dapat memetik pelajaran bahwa nikmat sehat atau kesehatan jauh lebih berharga dibanding uang yang banyak ataupun harta yang melimpah.