Marilah kita senantiasa bertaqwa kepada Allah swt dengan sebenar-benar taqwa, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjahui larangan-larangan-Nya.
Saat ini kita berada di bulan Shafar, bulan kedua tahun hijriyyah. Nama Shafar terkait dengan aktivitas masyarakat Arab terdahulu. Shafar berarti kosong.
Dinamakan demikian karena di bulan tersebut masyarakat kala itu berbondong-bondong keluar mengosongkan daerahnya, baik untuk berperang ataupun menjadi musafir.
Para ulama’ menyebutkan nama bulan Shafar sebagai Shafar al-Khoir yakni bulan Shafar yang penuh dengan kebaikan sebagai bentuk optimisme mengambil nilai-nilai positif dengan menyandangkan nama kebaikan bersanding dengan bulan Shafar.
Pada zaman jahiliah, berkembang anggapan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial atau dikenal dengan istilah tasya’um. Bulan yang tidak memiliki kehendak apa-apa ini diyakini mengandung keburukan-keburukan sehingga ada ketakutan bagi mereka untuk melakukan hal-hal tertentu.
Pikiran semacam ini juga masih menjalar di zaman sekarang. Sebagian orang menganggap bahwa hari-hari tertentu membawa hoki alias keberuntungan, sementara hari-hari lainnya mengandung sebaliknya.
Padahal, seperti bulan-bulan lainnya, bulan Shafar netral dari kesialan atau ketentuan nasib buruk. Jika pun ada kejadian buruk di dalamnya, maka itu semata-mata karena faktor lain, yakni semata-mata atas kehendak Allah, bukan karena bulan Shafar itu sendiri.
Jamaah shalat Jum’at hafidhakumullah…
Di masing-masing komunitas, baik di level keluarga, suku maupun bangsa selalu ada bulan tertentu yang dianggap sebagai bulan sial atau dijadikan “tersangka”. Sebagian orang jawa menganggap bulan Muharram atau Sura sebagai bulan sial.
Sebagian lagi menganggap bulan Dzulqa’dah atau Selo/Apit sebagai bula sial. Di kalangan orang-orang arab, bulan sialnya adalah bulan Shafar dan Syawwal. Bangsa-bangsa lain juga memiliki bulan sial yang berbeda-beda.
Hadirin Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Keyakinan seperti ini mungkin dilatarbelakangi oleh dua hal:
Pertama, adanya tragedi atau peristiwa memilukan yang pernah terjadi pada nenek moyang mereka pada bulan, hari atau waktu tertentu. Lalu mereka menganggap bulan tersebut sebagai bulan sial dan berpesan kepada anak cucunya untuk mewaspadai bulan tersebut agar tidak mengalami tragedy serupa.
Kedua, karena setiap manusia pada dasarnya punya sifat pesimis dengan kadar yang berbeda-beda. Jika sifat pesimis ini selalu dihubungkan dengan cerita nenek moyang dan cerita-cerita sial yang terjadi, maka pemilik sifat pesimis ini akan berburuk sangka terhadap sosok, tempat, atau waktu tertentu sebagai pembawa sial. Rasul Muhammad saw bersabda: